Beberapa waktu yang lalu IDI Cabang Kepulauan Riau melakukan aksi damai dengan berdemo ke kantor Gubernur Kepri di Tanjung Pinang. Aksi damai ini diikuti oleh dokter-dokter yang ada di wilayah kepri seperti batam, bintan dan karimun. Diikuti lebih kurang 200-an dokter.
Hal ini dilakukan karena berita-berita tentang "malpraktek" sangat marak di koran lokal. Apalagi sekarang LBH Kesehatan, lagi gentayangan di Kepulauan Riau. Mungkin karena di Jakarta sudah nggak laku atau orang Jakarta sudah pada pintar dan rasional sehingga nggak mudah di panas-panasin.
Kasus-kasus yang diangkat pada umumnya kasus yang sudah bertahun-tahun lamanya berlalu. Seperti kasus preeklampsia yang mengalami sekeule (lumpuh) setelah melahirkan . Ada juga kasus kerusakan mata pada seorang anak karena katarak. Artinya sebelumnya keluarga pasien sudah bisa menerima kondisi keluarganya sebelum ada yang mengomporin.
Situasi menjadi seolah-olah dokter yang bersalah akibat pemberitaan koran yang tidak berimbang. Berita langsung ditulis tanpa konfirmasi ke konsil lokal. Inzet box seperti pada tabloid ibu-ibu (realita misalnya) atau yang sejenis itu tidak ditampilkan. Sehingga opini masyarakat langsung terbentuk. Pers bilang kan ada hak jawab... Tetapi kalau opini sudah terlanjur terbentuk rasanya hak jawab akan semakin membuat dokter solah-olah membela kesalahannya (kalau tidak salah kenapa seperti kebakaran jenggot?)
Dari kasus-kasus yang masuk tidak terbukti adanya tindakan malpraktek. Yang terjadi adalah komplikasi dari penyakit yang diderita pasien tersebut. Seperti kasus preklampsia berat terjadi stroke, katarak akibat pemakaian kortikosteroid (yang dibeli sendiri oleh ortu pasien).
Pihak kepolisian begitu menerima laporan langsung menindak lanjuti dengan meminta keterangan dokter dimaksud. Hal ini sangat menyita waktu, tenaga dan pikiran dokter dimaksud. Bahkan sebelumnya ada dokter anak yang sudah terlanjur ditahan (kasus bayi tidak beranus). Untunglah IDI segera mengajukan penundaan tahanan. Nah bayangkan kalau menimpa kita.
Yang terjadi disini adalah masyarakat luas tidak mengerti apa yang dikatakan malpraktek. Komplikasi obat, komplikasi penyakit semuanya dikatakan malpraktek. Padahal sesuai defenisi jika tindakan medis dilakukan sudah sesuai dengan keilmuan dan maksimal mempergunakan sarana yang ada tetapi masih timbul juga kecacatan dan kematian itu bukan malpraktek namanya. Lagipula mana dokter yang mau mencelakai pasiennya........
Berdasarkan kejadian ini IDI Kepulauan Riau , sudah mulai gencar melakukan sosialisai tentang malpraktek, dengan tidak lupa melakukan peningkatan ilmu dan keterampilan dokter (kompetensi), tetap memberikan pelayanan secara maksimal, meminta pihak pers untuk melakukan pemberitaan berimbang (banyak pers yang tersinggung waktu demo berlangsung) dan meminta kepada pemda setempat untuk menertibkan LSM yang meresahkan seperti LBH Kesehatan.
Untuk itu rekan-rekan IDI didaerah lain juga harus merapatkan barisan. Karena masih dijumpai teman sejawat yang memberikan keterangan yang tidak sinkron dengan menyalahkan TS sebelumnya pada pasien yang sedang mencari "second opini". juga dihimbau kepada seluruh TS kalau memang terjadi perbedaan pendapat untuk tidak menyalah-nyalahkan TS lain.( Mungkin hanya ada di kepri didaerah, lain moga-moga tidak ada). Salam Sejawat.
Hal ini dilakukan karena berita-berita tentang "malpraktek" sangat marak di koran lokal. Apalagi sekarang LBH Kesehatan, lagi gentayangan di Kepulauan Riau. Mungkin karena di Jakarta sudah nggak laku atau orang Jakarta sudah pada pintar dan rasional sehingga nggak mudah di panas-panasin.
Kasus-kasus yang diangkat pada umumnya kasus yang sudah bertahun-tahun lamanya berlalu. Seperti kasus preeklampsia yang mengalami sekeule (lumpuh) setelah melahirkan . Ada juga kasus kerusakan mata pada seorang anak karena katarak. Artinya sebelumnya keluarga pasien sudah bisa menerima kondisi keluarganya sebelum ada yang mengomporin.
Situasi menjadi seolah-olah dokter yang bersalah akibat pemberitaan koran yang tidak berimbang. Berita langsung ditulis tanpa konfirmasi ke konsil lokal. Inzet box seperti pada tabloid ibu-ibu (realita misalnya) atau yang sejenis itu tidak ditampilkan. Sehingga opini masyarakat langsung terbentuk. Pers bilang kan ada hak jawab... Tetapi kalau opini sudah terlanjur terbentuk rasanya hak jawab akan semakin membuat dokter solah-olah membela kesalahannya (kalau tidak salah kenapa seperti kebakaran jenggot?)
Dari kasus-kasus yang masuk tidak terbukti adanya tindakan malpraktek. Yang terjadi adalah komplikasi dari penyakit yang diderita pasien tersebut. Seperti kasus preklampsia berat terjadi stroke, katarak akibat pemakaian kortikosteroid (yang dibeli sendiri oleh ortu pasien).
Pihak kepolisian begitu menerima laporan langsung menindak lanjuti dengan meminta keterangan dokter dimaksud. Hal ini sangat menyita waktu, tenaga dan pikiran dokter dimaksud. Bahkan sebelumnya ada dokter anak yang sudah terlanjur ditahan (kasus bayi tidak beranus). Untunglah IDI segera mengajukan penundaan tahanan. Nah bayangkan kalau menimpa kita.
Yang terjadi disini adalah masyarakat luas tidak mengerti apa yang dikatakan malpraktek. Komplikasi obat, komplikasi penyakit semuanya dikatakan malpraktek. Padahal sesuai defenisi jika tindakan medis dilakukan sudah sesuai dengan keilmuan dan maksimal mempergunakan sarana yang ada tetapi masih timbul juga kecacatan dan kematian itu bukan malpraktek namanya. Lagipula mana dokter yang mau mencelakai pasiennya........
Berdasarkan kejadian ini IDI Kepulauan Riau , sudah mulai gencar melakukan sosialisai tentang malpraktek, dengan tidak lupa melakukan peningkatan ilmu dan keterampilan dokter (kompetensi), tetap memberikan pelayanan secara maksimal, meminta pihak pers untuk melakukan pemberitaan berimbang (banyak pers yang tersinggung waktu demo berlangsung) dan meminta kepada pemda setempat untuk menertibkan LSM yang meresahkan seperti LBH Kesehatan.
Untuk itu rekan-rekan IDI didaerah lain juga harus merapatkan barisan. Karena masih dijumpai teman sejawat yang memberikan keterangan yang tidak sinkron dengan menyalahkan TS sebelumnya pada pasien yang sedang mencari "second opini". juga dihimbau kepada seluruh TS kalau memang terjadi perbedaan pendapat untuk tidak menyalah-nyalahkan TS lain.( Mungkin hanya ada di kepri didaerah, lain moga-moga tidak ada). Salam Sejawat.
No comments:
Post a Comment